Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Bangka Belitung

Minggu, 21 Maret 2010

Dea Anugrah


Penyair kelahiran Pangkalpinang, 27 Juni 1991. semasa SMA bergiat di Bengkel Sastra SMAN1 Sungailiat. Aktif menulis puisi. Saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Filsafat UGM. Karya-karyanya termaktub dalam dua buah buku kumpulan puisi(belum diterbitkan): Ziarah Kitab Bumi dan Sepasang Baling-baling. sedang menyiapkan buku kumpulan puisinya yang ketiga: Lampu untuk serangga musim panas


SAUT SITUMORANG DATANG KEDALAM MIMPIKU DAN BERKATA

bangunlah anak muda
lihat sekelilingmu
sejak ribuan waktu aku menertawaimu:
“bodohnya kau !”

tanyakanlah aku tentang rumputan itu
tanyakan aku tentang bunga-bunga itu!
yang ‘kan kau dapatkan hanyalah gambar wajahku
dengan sebatang rokok,
rambut gimbal dan alis yang bengkok

bangunlah anak muda!
bangun dari tidurmu
jangan kau tunggu datangnya puisi

langit tak pernah menjanjikan apapun buatmu
sebab kau bukan seorang nabi

bangunlah anak muda!
bangun dari tidurmu
dengarkan terompet miles davis
yang melengking dengan manis
menaboki pantat turis-turis

Jogja, april 2009


SEPASANG BALING BALING


Abang tukang mainan
Lewat didepanku
Ia belum terlalu tua, mungkin sebaya ayahku
Wajahnya tampak lelah, berpeluh
Berdebu
Tapi senyumnya ramah
Sampai-sampai aku pun tahu dua gigi serinya ompong

Ia menyapaku
Aku mengajaknya beristirahat sejenak
Sejenak saja
Jujur saja, aku tak tega melihatnya
Tapi ia menolak
Katanya : “anakku belum makan”
Kulihat arloji, jam empat sore

Ah, aku iba
Kubeli sepasang baling baling darinya
Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya
Jadilah baling baling itu kubawa dalam tasku

Tapi kemarin
Aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku
Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain
Seorang anak kecil
Ia memintanya dariku
Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab
Sudahlah kuberikan saja

Tapi aku penasaran juga, kuikuti anak itu
Cukup jauh
Hingga sampai di komplek pekuburan yg dinamai “orang miskin orang pinggiran”
Ia mencari cari sebuah kubur
Diamdiam kuikuti terus
Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana yang agak jauh dari kuburan lainnya
Dekat situ ada baliho besar bertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”
Si anak tersenyum pada (kuburan) itu
Sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling baling untukmu, semoga kau tak kesepian lagi.

Ah, aku sebaiknya pergi saja
Pulang ke tubuhku
Tubuh anak itu

Jogjakarta, Februari 2009


PISAU


Jangan lagi menoleh padaku !
Sebab aku t’lah mengusirmu
Dan kubakar jejak-jejak kita
Biar larut, biar terbang syair luka

Bila kau merindukanku
Lupakan semua puisi
Yang dulu pernah kutulis untukmu

Bila aku,
Hanya pantas untuk kau benci
Panggil namaku
Sebelum nafas menjelma sunyi


Jogjakarta, Maret 2009

Saat Toyib



Lahir 13 Mei 1949 di Delas, Bangka Selatan. Berpengalaman sebagai guru SD sejak tahun 1965-2001, kemudian diangkat sebagai Kepala Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang sejak tahun 2001. Saat ini baru saja pensiun dan berobsesi mengabadikan hidup untuk menulis. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, pantun, syair, dan lain-lainnya banyak dipublikasikan di suratkabar lokal seperti Bangka Pos, Babel Pos, dan Rakyat Pos, serta rajin tampil membacakan karya di sejumlah radio di Bangka Belitung. Saat ini ia juga aktif dalam kegiatan apresiasi karya sastra di Pulau Bangka bersama sejumlah sastrawan seperti LK. Ara, Suhaimi Sulaiman, Ian Sancin dan lain-lainnya. Dia juga memiliki kebolehan menari campak dan dambus, dua buah kesenian kesenian tradisional Bangka. Kadang-kadang juga menjadi juri lomba baca pantun dan puisi. Karya-karyanya juga telah dibukukan dalam sejumlah antologi bersama, antara lain Pangkalpinang Berpantun (YN & DKKP, 2004), Kelekak (YN & DKKP, 2005), Bunga Rampai dari Bangka Barat (YN & DKKP, 2005), Pelangi Budaya Bangka Tengah (Diknas Kabupaten Bangka Tengah, 2005), dan Bangka-Belitung Bercahaya (PLN, YN & DKKP, 2005). Dalam antologi ini memuat puisinya :
• Di Siang Itu
• Pantai Keranji
• Pasrah

Di Siang Itu

Di siang itu
Cuaca terang
Angin kencang
Debu-debu beterbangan

Sepanjang jalan
Terdapat hamparan sampah berserakan
Seperti kota tua yang terbuang
Ditinggalkan penghuninya menghilang

Seorang tua manatap lantang
Dengan mata yang jalang
Di hadapannya membentang
Jalan luas dan panjang

Pikirannya menerawang
Jauh melayang
Kapankah akan datang
Waktu yang luang
Membenahi kota yang telah terbuang

Masih terasa dalam pikirannya
Masa jaya kota tua
Yang menjadi tumpuannya
Untuk menapak hari esok
Yang lebih bahagia

Pangkalpinang, 1 Agustus 2005

Pantai Keranji

Deburan ombak dikala pasang
Menghadang perahu yang datang
Membentang dengan tenang
Dibuai oleh alunan gelombang

Pantai yang indah mempesona
Sudah dikenal sejak dahulu kala
Mempunyai sebuah legenda
Tentang pantai keranji disana

Konon kabarnya dahulu kala
Terdapat seorang pendekar yang perkasa
Kuat membela bangsanya
Begitu juga tanah airnya

Ia tinggal bersama keluarganya
Menetap di pantai sana
Mebangun rumah yang sederhana

Ketika datang segerombolan perompak
Tujuan ingin merompak
Harta dan keluarga diobrak obrak
Sehingga masyarakat segera memberontak

Kini hanya tinggal namanya
Terkenal juga dimana-mana
Hanya tinggal pusaran saja

Tokoh ini patut dikenang
Oleh kita yang hidup sekarang
Untuk dapat bersama-sama dikenang
Sebagai pedoman masa mendatang

Tanah Merah, 08 Desember 2005


Pasrah

Dibawa gelombang samudra
Terhempas di batu karang
Aku pun terlempar jauh ke tengah samudra
Dibawa arus sampai hilang ditelan gelombang

Mataku tak dapat melihat
Dikala malam yang pekat
Aku hanya menyebut namaMu, ya Allah
Sampai aku terdampar di tepi pantai
Keyakinanku
KepadaMu, ya Allah
Aku pasti terhindar dari kematian
Engaku Tuhan, belum menginginkan itu
Aku mesti tetap tabah

Aku yakin,
Cobaan itu akan lenyap
Bersama kepasrahanku
Dan Tuhan tetap bersamaku]

Pangkalpinang, 24 Oktober 2005

Ian Sancin


Lahir di Tanjung Pandan, 23 Mei 1963. mulai mempublisir
tulisannya tahun 1986, berupa karya sastra. Tahun 1990 bergabung dengan kelompok Jurnalis Mandiri Jakarta, tahun 1998 bergabung dengan kelompok kajian Jurnalistik. Ash-Shiddiq Intellectual Forum Bandung. Tahun 1999 bersama KPSPB ikut mensosialisasikan sastra ke berbagai sekolah lanjutan di Bangka. Tahun 2000 mendirikan Yayasan Kebudayaan AKAR. Tahun 2003 jadi peserta aktif dalam kongres Cerpenis Seluruh Indonesia di Lampung. Karya yang sudah terpublikasi di antaranya adalah : Penggunaan Pajak Secara Nyata Dan Sehat, Kehormatan Seorang Kartini, Kebudayaan Tanpa Ruh, Menggugat Rasa Keadilan, dan lainnya. Sedang karya-karya sastra antara lain : Buku Antologi Lagu Putih Pulau Lada Antologi Penyair Sesumatra, Berburu Kemakna Kepadang Kata. Antologi Pangkalpinang Berpantun, dan lainnya. Salah satu anggota tim penulisan buku sejarah Catatan Sejarah Terbentuknya Provinsi Bangka Belitung. Saat ini menekuni menulis skenario film dan cerita dan aktif mempublisir tulisan keberbagai media cetak. Dalam antologi ini memuat puisinya :
• Sungai Mengalir Di Wajah Bunda
• Tunggu Aku Di Mimpimu
• Bulan Yang Kau Janjikan

Sungai Yang Mengalir Di Wajah Bunda
: 18-11-2004

Rembulan hinggap di padang keningmu yang lapang
meruapi danau bening matamu mengairi sungai jernih nadi hidupku
dan anak-anakmu selalu gelisah hendak mencium punggung tanganmu
tangan yang membuat mereka perkasa sepanjang masa

Anakmu yang berpunya menanamkan pangkat
mewah dipundaknya menjadi jenderal kapan saja ia suka
anakmu yang perwira menjadi malu-malu dengan wibawanya
anakmu yang bintara menjadi kepala rumah tangga
menyiapkan angan-angan serba ada
anakmu yang serdadu tetaplah biasa
menjadi pasukan melengkapi suasana
dan anakmu yang tiada telah menjadi bunga
harum dalam doa
tetapi semuanya tetaplah anakmu
tak ada emas, perak, ataupun tembaga
anakmu adalah permatamu

Pesta hari raya adalah kumpul bocah bermanja suka
Dan untuk menyiapkan tanganmu yang sama
mesti menanak ketupat beratus buah jumlahnya
tak ada gulai angsa, hanya ada ayam dan lembu
di santan berpuluh kelapa jumlahnya
tak ada sayur biasa di hari raya, hanya ada sayur
beraroma mentega, cengkeh dan pala

Di hari raya kedua, gulai dan ketupat terasa
surut di lidah yang manja maka ikan segar bakar
menjadi penyelah suasana
tapi tak cukup satu ataupun dua
sehabis pesta piring dan gelas berbaris di tengah meja
dan tanganmu pula yang menjamahnya

Tanganmu yang perkasa telah membesarkan semua prajurit
hingga menjadi perwira atau tetap serdadu biasa
tanganmu adalah tangan sepanjang masa
karena itu hari kelima di hari raya engkau rubuh kehilangan tenaga

Dan kini sungai mengalir di wajahmu
arusnya perlahan hingga rembulan yang terbias di riaknya
teramat kusam dan buram padahal anak-anakmu belumlah
puas mencium
punggung tanganmu

Sungai yang dulu mengalir di wajahmu melayarkan semua
angan-angan anakmu ke samudra bebas
dan kembali setelah penjelajahan puas
melabuhkan dan menunaikan apa yang belum kau punya
kau tak pernah berkata apakah kau suka
kau tak pernah berduka apakah kau merana
kau tak pernah membantah apakah kau payah
karena kau tak mau mengeruhkan sungai jernih
yang mengalir di wajahmu

Mak...... rembulan pasti padam
ia hanya bersinar dalam semalam dan esok pagi
kan berganti matahari
dan jika kelak Sang fajar menjemput
kami ikhlas menebus rasa angkuh ini

Pangkal Januari 2005

Tunggu Aku Di Mimpimu

Ada embun menitik mengembara
ke ujung kabut

Menembangkan wangi bunga
yang kau rangkum bertahun panjang
di sepanjang hari bahkan
setika sembuh
sujudmu di sajadah

Ada Tuhan di rumah kita
melihat spreimu yang masih kusut
seperti putihnya gurun bergelombang
dalam bayang bimbang
antara ngantuk dan azan

Tafakurmu hikmad menyentuh tanah basah
Yang ditinggalkan rembulan

Ada embun menikam dedaunan
angin mencumbunya takjub
aromanya memasuki kamar kita
lewat jendela yang kau buka
menyatu dengan keringat
di kening bening oleh niatmu
aku begitu betah menciumnya
bau yang sama setiap pagi

Jika kau hadir selamanya
dedaunan itu takkan memudar
takkan juga kehilangan raguku
memelukmu membuka pagi
menjelma di ziarah mimpi

Kukulum hujan di derai malam
sepanjang pikiranmu sementara
lenguhmu masih melekat dalam
getar dinding kamar kita yang ivori
menyergap gelap kala kita saling mendekap
bahkan rintih kecil igauanmu
terus tersimpan di balik bantal
mencium tengkukku dengan lembut

Malam yang tak pernah kita bagi,
selalu kita tuntaskan
hingga dini walau sesungguhnya
kita tak pernah berjanji
karena kita selalu yakin
satu kita takkan begitu cepat
untuk pergi, masih terlalu pagi.

Kupeluk hujan di rinai malam
sepanjang hatimu
menyatukan dingin dua kutub
yang beku
agar kuyakin tak sedingin bekuku
di kesunyian yang terus
berlalu ke ujung waktu


Seperti lorong pedalaman yang panjang
kita kayuh dengan sihir purnama
merasuki kita yang telanjang
agar kebekuan itu meleleh menetes

mengaliri setiap anak sungai tubuhmu
menundukan seisi larut malam

Takkan pernah ada badai
merengkuh tilam kita karena
pelabuhan hanya untuk
merebahkan penat setelah
kita menuntaskan dendam
yang dirajam sepanjang kala,
sebebas haluan menikam ombak
atau kita merapatkan tubuh
kita yang menggeliat
menggumuli padang rindu
meniti ujung angin hingga
menyentuh pualam dingin
di wangi rambutmu

Atau kudekap lelahmu dilautan
garam yang menguap direntang malam,
setelah kita mengayuh
ke sejuta laguna
menuntaskan doa yang tak pernah
selesai kita kabarkan
karena kita seperti tak yakin
bila lelah kita akan sampai batasnya
meluluhkan perpisahan
kita yang sesaat dalam
tidur penantianmu

Akan kukejar bunga ilalang
yang rantau di mimpi kita
ke masa datang
pucuknya menembus langit
agar kuingat tajamnya
kala rumah kita yang semak
dikokohi susunan batu
menyatukan dapur dan kamar
tidur kita berkarpet masyhur
karena ada tungku yang selalu
kau rampungkan
biar kita rasakan bara api
merebut selimut kita yang tak
pernah beku

Di dalam sunyi panjang yang
tak pernah usai
tidurmu kesampaian
tidurlah sayang
aku menunggu batas
yang kian mendekat

Kini teramat dekat,
dalam lalu mimpi, dalam lalu puisi
dalam lalu bulan, dalam lalu hening,
dalam lalu menunggu akhirku

La ilaaha illallah

280604

Bulan Yang Kau Janjikan

Seperti katamu, malam pasti datang
tapi tak membawa gelap seperti kemarin petang
karena itu, sekantong pikiranmu penuh bintang
aku sadar, termangu dan rindu padamu
wajahmu yang bulat dalam genggam
langit basah
mengurai awan kusut di bawah bayang-bayang
gaunmu yang tipis, dilipat angin dan tersingkap dalam putih
semilir bisu, tempat kutumpahkan garis-garis panjang
perjalanan yang penat menunggumu

Kau datang seperti yang kau janjikan
membawa bulan dalam keranjang yang dianyam
malam
ini bulan yang ke berapa, sayang?

12 Desember 2004