tag:blogger.com,1999:blog-21809959347134417552024-03-04T22:42:55.468-08:00Bangka BelitungArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-2180995934713441755.post-54127351765289668842010-03-21T06:52:00.000-07:002010-11-08T08:28:31.044-08:00Dea Anugrah<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisIEYbMZ-y2anYlkENOYhO4bH6NdiJVFOFcGuJTxFweNzbcUUndmv0EMa-N429kJacae8MKNliK-d59UWGeKKql_0IKzyT8unyd4AvopDz3FZd5dSc0MppM3N5qp6LxcpSY4dRgwvq1uk/s1600/di+kampus.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 150px; height: 112px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisIEYbMZ-y2anYlkENOYhO4bH6NdiJVFOFcGuJTxFweNzbcUUndmv0EMa-N429kJacae8MKNliK-d59UWGeKKql_0IKzyT8unyd4AvopDz3FZd5dSc0MppM3N5qp6LxcpSY4dRgwvq1uk/s200/di+kampus.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5537216448743948898" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Penyair kelahiran Pangkalpinang, 27 Juni 1991. semasa SMA bergiat di Bengkel Sastra SMAN1 Sungailiat. Aktif menulis puisi. Saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Filsafat UGM. Karya-karyanya termaktub dalam dua buah buku kumpulan puisi(belum diterbitkan): Ziarah Kitab Bumi dan Sepasang Baling-baling. sedang menyiapkan buku kumpulan puisinya yang ketiga: Lampu untuk serangga musim panas<br /></div><br /><br /><span style="font-weight: bold;">SAUT SITUMORANG DATANG KEDALAM MIMPIKU DAN BERKATA</span><br /><br />bangunlah anak muda<br />lihat sekelilingmu<br />sejak ribuan waktu aku menertawaimu:<br />“bodohnya kau !”<br /><br />tanyakanlah aku tentang rumputan itu<br />tanyakan aku tentang bunga-bunga itu!<br />yang ‘kan kau dapatkan hanyalah gambar wajahku<br />dengan sebatang rokok,<br />rambut gimbal dan alis yang bengkok<br /><br />bangunlah anak muda!<br />bangun dari tidurmu<br />jangan kau tunggu datangnya puisi<br /><br />langit tak pernah menjanjikan apapun buatmu<br />sebab kau bukan seorang nabi<br /><br />bangunlah anak muda!<br />bangun dari tidurmu<br />dengarkan terompet miles davis<br />yang melengking dengan manis<br />menaboki pantat turis-turis<br /><br />Jogja, april 2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">SEPASANG BALING BALING</span><br /><br /><br />Abang tukang mainan<br />Lewat didepanku<br />Ia belum terlalu tua, mungkin sebaya ayahku<br />Wajahnya tampak lelah, berpeluh<br />Berdebu<br />Tapi senyumnya ramah<br />Sampai-sampai aku pun tahu dua gigi serinya ompong<br /><br />Ia menyapaku<br />Aku mengajaknya beristirahat sejenak<br />Sejenak saja<br />Jujur saja, aku tak tega melihatnya<br />Tapi ia menolak<br />Katanya : “anakku belum makan”<br />Kulihat arloji, jam empat sore<br /><br />Ah, aku iba<br />Kubeli sepasang baling baling darinya<br />Ia berterima kasih, lalu pergi, kembali menjaja dagangannya<br />Jadilah baling baling itu kubawa dalam tasku<br /><br />Tapi kemarin<br />Aku kehilangan sepasang baling baling kesayanganku<br />Lebih tepatnya kukasihkan ke orang lain<br />Seorang anak kecil<br />Ia memintanya dariku<br />Saat kutanya untuk apa, ia tak menjawab<br />Sudahlah kuberikan saja<br /><br />Tapi aku penasaran juga, kuikuti anak itu<br />Cukup jauh<br />Hingga sampai di komplek pekuburan yg dinamai “orang miskin orang pinggiran”<br />Ia mencari cari sebuah kubur<br />Diamdiam kuikuti terus<br />Hingga kulihat ia berhenti di samping sebuah kuburan sederhana yang agak jauh dari kuburan lainnya<br />Dekat situ ada baliho besar bertuliskan, “rakyat melarat, sampah masyarakat”<br />Si anak tersenyum pada (kuburan) itu<br />Sayup terdengar : “ayah, ini kubawakan sepasang baling baling untukmu, semoga kau tak kesepian lagi.<br /><br />Ah, aku sebaiknya pergi saja<br />Pulang ke tubuhku<br />Tubuh anak itu<br /><br />Jogjakarta, Februari 2009<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">PISAU</span><br /><br /><br />Jangan lagi menoleh padaku !<br />Sebab aku t’lah mengusirmu<br />Dan kubakar jejak-jejak kita<br />Biar larut, biar terbang syair luka<br /><br />Bila kau merindukanku<br />Lupakan semua puisi<br />Yang dulu pernah kutulis untukmu<br /><br />Bila aku,<br />Hanya pantas untuk kau benci<br />Panggil namaku<br />Sebelum nafas menjelma sunyi<br /><br /><br />Jogjakarta, Maret 2009Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2180995934713441755.post-77984228672424411562010-03-21T06:48:00.000-07:002011-03-03T02:34:49.641-08:00Saat Toyib<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijyihUFrXSIuRoTc3PXi2OZBbGafeVd0DLvILPqSfUHHpHV-mSScfl23AcE78V76dr9anDqmGUMnOBluAgyrHCFBFx6xkwk4GTTCMS0mZdmR15sSKbfmVAu6FJF4wSMxcqWvvSRKAOI9o/s1600/Saat+Toyeb.jpg"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 142px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijyihUFrXSIuRoTc3PXi2OZBbGafeVd0DLvILPqSfUHHpHV-mSScfl23AcE78V76dr9anDqmGUMnOBluAgyrHCFBFx6xkwk4GTTCMS0mZdmR15sSKbfmVAu6FJF4wSMxcqWvvSRKAOI9o/s200/Saat+Toyeb.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5537217195759181282" border="0" /></a><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lahir 13 Mei 1949 di Delas, Bangka Selatan. Berpengalaman sebagai guru SD sejak tahun 1965-2001, kemudian diangkat sebagai Kepala Perpustakaan Umum Kota Pangkalpinang sejak tahun 2001. Saat ini baru saja pensiun dan berobsesi mengabadikan hidup untuk menulis. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, pantun, syair, dan lain-lainnya banyak dipublikasikan di suratkabar lokal seperti Bangka Pos, Babel Pos, dan Rakyat Pos, serta rajin tampil membacakan karya di sejumlah radio di Bangka Belitung. Saat ini ia juga aktif dalam kegiatan apresiasi karya sastra di Pulau Bangka bersama sejumlah sastrawan seperti LK. Ara, Suhaimi Sulaiman, Ian Sancin dan lain-lainnya. Dia juga memiliki kebolehan menari campak dan dambus, dua buah kesenian kesenian tradisional Bangka. Kadang-kadang juga menjadi juri lomba baca pantun dan puisi. Karya-karyanya juga telah dibukukan dalam sejumlah antologi bersama, antara lain Pangkalpinang Berpantun (YN & DKKP, 2004), Kelekak (YN & DKKP, 2005), Bunga Rampai dari Bangka Barat (YN & DKKP, 2005), Pelangi Budaya Bangka Tengah (Diknas Kabupaten Bangka Tengah, 2005), dan Bangka-Belitung Bercahaya (PLN, YN & DKKP, 2005). Dalam antologi ini memuat puisinya :<br /></div>• Di Siang Itu<br />• Pantai Keranji<br />• Pasrah<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Di Siang Itu</span><br /><br />Di siang itu<br />Cuaca terang<br />Angin kencang<br />Debu-debu beterbangan<br /><br />Sepanjang jalan<br />Terdapat hamparan sampah berserakan<br />Seperti kota tua yang terbuang<br />Ditinggalkan penghuninya menghilang<br /><br />Seorang tua manatap lantang<br />Dengan mata yang jalang<br />Di hadapannya membentang<br />Jalan luas dan panjang<br /><br />Pikirannya menerawang<br />Jauh melayang<br />Kapankah akan datang<br />Waktu yang luang<br />Membenahi kota yang telah terbuang<br /><br />Masih terasa dalam pikirannya<br />Masa jaya kota tua<br />Yang menjadi tumpuannya<br />Untuk menapak hari esok<br />Yang lebih bahagia<br /><br />Pangkalpinang, 1 Agustus 2005<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pantai Keranji</span><br /><br />Deburan ombak dikala pasang<br />Menghadang perahu yang datang<br />Membentang dengan tenang<br />Dibuai oleh alunan gelombang<br /><br />Pantai yang indah mempesona<br />Sudah dikenal sejak dahulu kala<br />Mempunyai sebuah legenda<br />Tentang pantai keranji disana<br /><br />Konon kabarnya dahulu kala<br />Terdapat seorang pendekar yang perkasa<br />Kuat membela bangsanya<br />Begitu juga tanah airnya<br /><br />Ia tinggal bersama keluarganya<br />Menetap di pantai sana<br />Mebangun rumah yang sederhana<br /><br />Ketika datang segerombolan perompak<br />Tujuan ingin merompak<br />Harta dan keluarga diobrak obrak<br />Sehingga masyarakat segera memberontak<br /><br />Kini hanya tinggal namanya<br />Terkenal juga dimana-mana<br />Hanya tinggal pusaran saja<br /><br />Tokoh ini patut dikenang<br />Oleh kita yang hidup sekarang<br />Untuk dapat bersama-sama dikenang<br />Sebagai pedoman masa mendatang<br /><br />Tanah Merah, 08 Desember 2005<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pasrah</span><br /><br />Dibawa gelombang samudra<br />Terhempas di batu karang<br />Aku pun terlempar jauh ke tengah samudra<br />Dibawa arus sampai hilang ditelan gelombang<br /><br />Mataku tak dapat melihat<br />Dikala malam yang pekat<br />Aku hanya menyebut namaMu, ya Allah<br />Sampai aku terdampar di tepi pantai<br />Keyakinanku<br />KepadaMu, ya Allah<br />Aku pasti terhindar dari kematian<br />Engaku Tuhan, belum menginginkan itu<br />Aku mesti tetap tabah<br /><br />Aku yakin,<br />Cobaan itu akan lenyap<br />Bersama kepasrahanku<br />Dan Tuhan tetap bersamaku]<br /><br />Pangkalpinang, 24 Oktober 2005Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2180995934713441755.post-5957796586552336582010-03-21T06:46:00.000-07:002010-03-21T07:03:13.785-07:00Ian Sancin<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2UC40meNaPOS_zw8gLorB0fdMhz7lzxUyjksnCXvoDksgojGa8Lhe27xBRcvgWuDl7kZz-0g7ZabofK_RNgt1we-saXz9Z1AS93iC1bTVIUNIiQftAus_v8g3SvDKpZPSHSddrMk5UUM/s1600-h/Ian+Sancin.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 132px; height: 211px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2UC40meNaPOS_zw8gLorB0fdMhz7lzxUyjksnCXvoDksgojGa8Lhe27xBRcvgWuDl7kZz-0g7ZabofK_RNgt1we-saXz9Z1AS93iC1bTVIUNIiQftAus_v8g3SvDKpZPSHSddrMk5UUM/s320/Ian+Sancin.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5451087358541136146" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;">Lahir di Tanjung Pandan, 23 Mei 1963. mulai mempublisir<br />tulisannya tahun 1986, berupa karya sastra. Tahun 1990 bergabung dengan kelompok Jurnalis Mandiri Jakarta, tahun 1998 bergabung dengan kelompok kajian Jurnalistik. Ash-Shiddiq Intellectual Forum Bandung. Tahun 1999 bersama KPSPB ikut mensosialisasikan sastra ke berbagai sekolah lanjutan di Bangka. Tahun 2000 mendirikan Yayasan Kebudayaan AKAR. Tahun 2003 jadi peserta aktif dalam kongres Cerpenis Seluruh Indonesia di Lampung. Karya yang sudah terpublikasi di antaranya adalah : Penggunaan Pajak Secara Nyata Dan Sehat, Kehormatan Seorang Kartini, Kebudayaan Tanpa Ruh, Menggugat Rasa Keadilan, dan lainnya. Sedang karya-karya sastra antara lain : Buku Antologi Lagu Putih Pulau Lada Antologi Penyair Sesumatra, Berburu Kemakna Kepadang Kata. Antologi Pangkalpinang Berpantun, dan lainnya. Salah satu anggota tim penulisan buku sejarah Catatan Sejarah Terbentuknya Provinsi Bangka Belitung. Saat ini menekuni menulis skenario film dan cerita dan aktif mempublisir tulisan keberbagai media cetak. Dalam antologi ini memuat puisinya :<br /></div>• Sungai Mengalir Di Wajah Bunda<br />• Tunggu Aku Di Mimpimu<br />• Bulan Yang Kau Janjikan<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sungai Yang Mengalir Di Wajah Bunda</span><br />: 18-11-2004<br /><br />Rembulan hinggap di padang keningmu yang lapang<br />meruapi danau bening matamu mengairi sungai jernih nadi hidupku<br />dan anak-anakmu selalu gelisah hendak mencium punggung tanganmu<br />tangan yang membuat mereka perkasa sepanjang masa<br /><br />Anakmu yang berpunya menanamkan pangkat<br />mewah dipundaknya menjadi jenderal kapan saja ia suka<br />anakmu yang perwira menjadi malu-malu dengan wibawanya<br />anakmu yang bintara menjadi kepala rumah tangga<br />menyiapkan angan-angan serba ada<br />anakmu yang serdadu tetaplah biasa<br />menjadi pasukan melengkapi suasana<br />dan anakmu yang tiada telah menjadi bunga<br />harum dalam doa<br />tetapi semuanya tetaplah anakmu<br />tak ada emas, perak, ataupun tembaga<br />anakmu adalah permatamu<br /><br />Pesta hari raya adalah kumpul bocah bermanja suka<br />Dan untuk menyiapkan tanganmu yang sama<br />mesti menanak ketupat beratus buah jumlahnya<br />tak ada gulai angsa, hanya ada ayam dan lembu<br />di santan berpuluh kelapa jumlahnya<br />tak ada sayur biasa di hari raya, hanya ada sayur<br />beraroma mentega, cengkeh dan pala<br /><br />Di hari raya kedua, gulai dan ketupat terasa<br />surut di lidah yang manja maka ikan segar bakar<br />menjadi penyelah suasana<br />tapi tak cukup satu ataupun dua<br />sehabis pesta piring dan gelas berbaris di tengah meja<br />dan tanganmu pula yang menjamahnya<br /><br />Tanganmu yang perkasa telah membesarkan semua prajurit<br />hingga menjadi perwira atau tetap serdadu biasa<br />tanganmu adalah tangan sepanjang masa<br />karena itu hari kelima di hari raya engkau rubuh kehilangan tenaga<br /><br />Dan kini sungai mengalir di wajahmu<br />arusnya perlahan hingga rembulan yang terbias di riaknya<br />teramat kusam dan buram padahal anak-anakmu belumlah<br />puas mencium<br />punggung tanganmu<br /><br />Sungai yang dulu mengalir di wajahmu melayarkan semua<br />angan-angan anakmu ke samudra bebas<br />dan kembali setelah penjelajahan puas<br />melabuhkan dan menunaikan apa yang belum kau punya<br />kau tak pernah berkata apakah kau suka<br />kau tak pernah berduka apakah kau merana<br />kau tak pernah membantah apakah kau payah<br />karena kau tak mau mengeruhkan sungai jernih<br />yang mengalir di wajahmu<br /><br />Mak...... rembulan pasti padam<br />ia hanya bersinar dalam semalam dan esok pagi<br />kan berganti matahari<br />dan jika kelak Sang fajar menjemput<br />kami ikhlas menebus rasa angkuh ini<br /><br />Pangkal Januari 2005<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tunggu Aku Di Mimpimu</span><br /><br />Ada embun menitik mengembara<br />ke ujung kabut<br /><br />Menembangkan wangi bunga<br />yang kau rangkum bertahun panjang<br />di sepanjang hari bahkan<br />setika sembuh<br />sujudmu di sajadah<br /><br />Ada Tuhan di rumah kita<br />melihat spreimu yang masih kusut<br />seperti putihnya gurun bergelombang<br />dalam bayang bimbang<br />antara ngantuk dan azan<br /><br />Tafakurmu hikmad menyentuh tanah basah<br />Yang ditinggalkan rembulan<br /><br />Ada embun menikam dedaunan<br />angin mencumbunya takjub<br />aromanya memasuki kamar kita<br />lewat jendela yang kau buka<br />menyatu dengan keringat<br />di kening bening oleh niatmu<br />aku begitu betah menciumnya<br />bau yang sama setiap pagi<br /><br />Jika kau hadir selamanya<br />dedaunan itu takkan memudar<br />takkan juga kehilangan raguku<br />memelukmu membuka pagi<br />menjelma di ziarah mimpi<br /><br />Kukulum hujan di derai malam<br />sepanjang pikiranmu sementara<br />lenguhmu masih melekat dalam<br />getar dinding kamar kita yang ivori<br />menyergap gelap kala kita saling mendekap<br />bahkan rintih kecil igauanmu<br />terus tersimpan di balik bantal<br />mencium tengkukku dengan lembut<br /><br />Malam yang tak pernah kita bagi,<br />selalu kita tuntaskan<br />hingga dini walau sesungguhnya<br />kita tak pernah berjanji<br />karena kita selalu yakin<br />satu kita takkan begitu cepat<br />untuk pergi, masih terlalu pagi.<br /><br />Kupeluk hujan di rinai malam<br />sepanjang hatimu<br />menyatukan dingin dua kutub<br />yang beku<br />agar kuyakin tak sedingin bekuku<br />di kesunyian yang terus<br />berlalu ke ujung waktu<br /><br /><br />Seperti lorong pedalaman yang panjang<br />kita kayuh dengan sihir purnama<br />merasuki kita yang telanjang<br />agar kebekuan itu meleleh menetes<br /><br />mengaliri setiap anak sungai tubuhmu<br />menundukan seisi larut malam<br /><br />Takkan pernah ada badai<br />merengkuh tilam kita karena<br />pelabuhan hanya untuk<br />merebahkan penat setelah<br />kita menuntaskan dendam<br />yang dirajam sepanjang kala,<br />sebebas haluan menikam ombak<br />atau kita merapatkan tubuh<br />kita yang menggeliat<br />menggumuli padang rindu<br />meniti ujung angin hingga<br />menyentuh pualam dingin<br />di wangi rambutmu<br /><br />Atau kudekap lelahmu dilautan<br />garam yang menguap direntang malam,<br />setelah kita mengayuh<br />ke sejuta laguna<br />menuntaskan doa yang tak pernah<br />selesai kita kabarkan<br />karena kita seperti tak yakin<br />bila lelah kita akan sampai batasnya<br />meluluhkan perpisahan<br />kita yang sesaat dalam<br />tidur penantianmu<br /><br />Akan kukejar bunga ilalang<br />yang rantau di mimpi kita<br />ke masa datang<br />pucuknya menembus langit<br />agar kuingat tajamnya<br />kala rumah kita yang semak<br />dikokohi susunan batu<br />menyatukan dapur dan kamar<br />tidur kita berkarpet masyhur<br />karena ada tungku yang selalu<br />kau rampungkan<br />biar kita rasakan bara api<br />merebut selimut kita yang tak<br />pernah beku<br /><br />Di dalam sunyi panjang yang<br />tak pernah usai<br />tidurmu kesampaian<br />tidurlah sayang<br />aku menunggu batas<br />yang kian mendekat<br /><br />Kini teramat dekat,<br />dalam lalu mimpi, dalam lalu puisi<br />dalam lalu bulan, dalam lalu hening,<br />dalam lalu menunggu akhirku<br /><br />La ilaaha illallah<br /><br />280604<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Bulan Yang Kau Janjikan</span><br /><br />Seperti katamu, malam pasti datang<br />tapi tak membawa gelap seperti kemarin petang<br />karena itu, sekantong pikiranmu penuh bintang<br />aku sadar, termangu dan rindu padamu<br />wajahmu yang bulat dalam genggam<br />langit basah<br />mengurai awan kusut di bawah bayang-bayang<br />gaunmu yang tipis, dilipat angin dan tersingkap dalam putih<br />semilir bisu, tempat kutumpahkan garis-garis panjang<br />perjalanan yang penat menunggumu<br /><br />Kau datang seperti yang kau janjikan<br />membawa bulan dalam keranjang yang dianyam<br />malam<br />ini bulan yang ke berapa, sayang?<br /><br />12 Desember 2004Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0